OYISAM!

OYISAM!

Rabu, 01 Juni 2016

Thata Mahameru



Novel: Tahta Mahameru
Tahta Mahameru? Siapa yang bertahta di Mahameru? Tuhankah, atau Para Dewa? Pertanyaan berikut adalah satu dari tiga pertanyaan yang ditanyakan oleh Ikhsan kepada Faras. Tiga pertanyaan sulit yang tidak mampu Faras jawab.
Faras, gadis sederhana dari desa Ranu Pane, dan monster Ikhsan, pendaki sinis nan menyebalkan asal Jakarta. Petualangan dan persahabatan unik dua manusia dengan karakter bertolak belakang inilah yang dituturkan dalam novel Tahta Mahameru.
Faras hobi membaca, yang membuatnya ahli melontarkan sederetan kata-kata sulit penuh makna. Kahlil Gibran, begitu ucapnya biasanya, menyebut nama perangkai kalimat-kalimat indah yang dicatutnya. Sedangkan Ikhsan adalah seorang penjelajah yang kerap kali menghabiskan waktunya untuk membalaskan dendam. Dendam dan setumpuk kebencian pada keluarganya yang memupuk karakter Ikhsan menjadi karakter sinis dan menyebalkan. Perpaduan karakter yang ampuh mengenyahkan orang-orang yang mencoba mendekat, hingga praktis dia tak punya teman. Faras adalah salah satu sosok yang tak bergeming dengan kesinisan Ikhsan.
3 kali Faras bertemu Ikhsan di desa Ranu Pane, kaki gunung Mahameru, titik start bagi para pendaki yang akan melakukan pendakian. Ikhsan datang, sekali membawa kesinisan, sekali membawa luka bakar dan kekalutan, terakhir 3 tahun lalu, Ikhsan datang membawa dendam yang mencapai puncaknya. Segala hal yang ingin diredamnya dalam kemegahan Mahameru.
Dengan ketulusan dan kecerdasannya, Faras mampu menjawab kesinisan dan kekalutan Ikhsan dengan nasihat yang dirangkumnya dalam keindahan jalinan kata Kahlil Gibran.
“Berilah aku telinga, maka aku akan memberimu suara”
”Yang paling dekat dengan hatiku adalah seorang raja yang tidak memiliki singgasana dan seorang miskin yang tidak tahu caranya mengemis.” Kutip Faras suatu ketika, yang membuat Ikhsan tanpa sadar membuka hatinya untuk persahabatan tulus yang Faras tawarkan.
3 tahun terhitung setelah pertemuan terakhir mereka, Ikhsan lalu menghilang. Faras dirundung kegelisahan. Faras takut, Ikhsan yang sendirian, memutuskan untuk lebih serius membalas  dendam. Faras lalu mencari jejak Ikhsan yang menghilang, melalui foto-foto yang Ikhsan kirimkan. Di Borobudur Faras bertemu Mareta, seorang gadis fotografer yang cuek, yang ternyata terikat erat dengan kehidupan penuh dendam Ikhsan. Petualangan Faras dan Mareta pun terurai, mulai dari tumpukan batu mahacipta Syailendra, hingga potongan-potongan kayu perahu pinisi kebanggaan Bugis, di Tanjung Bira, penghujung Celebes.
Di Tanjung Bira, jejak Ikhsan yang berhasil Faras kumpulkan, menciptakan sosok baru Ikhsan yang jauh berbeda dari yang Faras kenal. Membawa kelegaan sekaligus membuncahnya sejuta pertanyaan dalam diri Faras akan perubahan yang terjadi pada Ikhsan.
Akhirnya, ketiga tokoh, berkumpul kembali titik mulai kisah ini berasal, Ranu Pane, kaki Mahameru. Mereka lalu mendaki Mahameru untuk mengurai dendam sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan Ikhsan yang dulu tak pernah bisa Faras jawab.
Novel ini terurai dalam alur cerita flashback yang lembar demi lembar kisahnya ini bak novel misteri yang menawarkan sederet pertanyaan samar. Tentang Ikhsan dan kisah bak opera sabun dalam keluarganya. Tentang Mareta, gadis fotografer cuek, teman seperjalanan Faras yang rupanya terikat erat dengan kehidupan penuh dendam Ikhsan.
Pola penceritaan yang maju mundur diceritakan dengan berbagai setting tempat, Ranu Pane, Borobudur, Jakarta dan Tanjung Bira. Pergeseran waktu dan tempat secara bolak-balik ini mampu membuat pembaca penasaran mengenai jalan ceritanya. Azzura Dayana seolah menyerakkan puzzle untuk dirangkai para pembaca. Pembaca harus cukup jeli dalam melihat latar tempat dan waktu cerita untuk dapat menebak kisahnya. Gaya cerita yang dituturkan melalui sudut pandang Faras, Mareta dan Ikhsan secara berganti-ganti, memungkinkan pembaca untuk dapat menyelami pemikiran-pemikiran tokohnya secara lebih dalam. Azzura Dayana cukup pintar membuat plot yang membuat pembaca ingin menghabiskan novel ini dalam sekali duduk saja.
Gambaran sosok Faras, mewakili kesederhaan dan ketulusan hati seorang gadis desa yang berpadu dengan kecerdasan yang didapat dari kecintaannya terhadap buku. Ketulusan dan kecerdasan Faras yang akhirnya meluluhkan Ikhsan sehingga mau membuka pintu persahabatan Seperti yang dituturkan dalam coretan kata-kata milik Ikhsan…kau serupa perdu, tapi herannya, padamu aku tetap menggantung. Rangkaian kalimat indah Kahlil Gibran melalui sosok Faras, akan mampu menumbuhkan besar rasa penasaran bagi para pembaca untuk membaca kembali karya-karya Kahlil Gibran.
Sedangkan sosok Ikhsan mungkin akan menyentil karakter introvert para pendaki, yang biasanya membawa setumpuk keresahan yang tidak bisa diungkapkan, untuk dicecerkan dalam setiap pendakian. Pembaca akan dibawa turut serta dalam tumpukkan dendam Ikhsan akibat konflik-konflik keluarga serta kehilangan satu-satunya orang yang dicintainya, hingga akhirnya mampu bertransformasi setelah melalui berbagai peristiwa dalam hidupnya.
Sosok Mareta sendiri mewakili gadis kota metropolitan yang berkecukupan, namun klasiknya, Mareta tumbuh menjadi gadis pembangkang akibat huru-hara yang kerap terjadi antara orang tuanya. Sayangnya penokohan tokoh Mareta disini kurang kuat, sehingga tenggelam oleh dua tokoh utama. Padahal banyak hal yang bisa digali, terutama sikap Mareta sebagai gadis yang seharusnya bisa cukup kritis terhadap konflik-konflik yang diakibatkan oleh orangtuanya. Selain ketiga tokoh tersebut, masih ada sosok Fikri dan Yusuf, dua sosok protagonist yang dalam cerita ini sangat mempengaruhi kehidupan Ikhsan sebagai sosok yang sempurna baik sebagai sahabat maupun panutan.
Serupa dengan novel best seller, 5 cm, kedua novel ini sama-sama menceritakan persahabatan dilatari dengan penggambaran indah pendakian Mahameru. Gambaran indah tentang Mahameru dijamin akan mengobarkan penasaran dan memecut kerinduan bagi para pecinta tempat tinggi untuk menjejakkan kaki disana. Kedua novel ini juga dibumbui dengan kata-kata puitis baik dari para pujangga ataupun lirik lagu.
Yang membuat novel Mahameru berbeda ialah gaya penceritaan yang seolah penuh misteri dan muatan-muatan islami yang dimasukkan tanpa kesan menggurui. Hadits dan ayat Al-Qur’an juga  disisipkan secara cerdas tanpa menjadikan novel ini terkesan seperti novel dakwah islami.
Tahta Mahameru mampu menunjukkan kualitasnya sebagai pemenang kedua sayembara novel Republika 2011. Alur cerita yang membuat pembaca penasaran disertai dengan latar belakang yang memukau. Gambaran mengenai adat Bugis beserta kehebatannya dalam membuat perahu tangguh ternama, Pinisi, dan tentunya gambaran megah pendakian Mahameru. Gaya bertutur Azzura Dayana seolah mampu menghadirkan dinginnya danau Ranu Kumbolo saat Ikhsan menceburkan diri di dalamnya. Novel ini juga bertaburkan kalimat-kalimat indah baik kutipan maupun buah pikir Azzura Dayana sendiri yang penuh makna.
Kekurangan pada novel ini adalah konflik yang terjadi pada keluarga Ikhsan dan Mareta terkesan sangat klise, seperti pada sinetron, dengan klimaks yang terasa kurang menggigit dibandingkan dengan banyaknya pertanyaan yang timbul di bab-bab awal buku.
Secara keseluruhan, novel ini merupakan salah satu novel koleksi Perpustakaan Salman yang layak pinjam. Bersiaplah mendapat sebersit arti tentang hati, yang merasa sendiri dan yang senantiasa memberi. Juga secuil arti tentang ketulusan sebuah persahabatan, yang kerapkali kita abaikan.